Parigi Moutong, Timursulawesi.id – Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial (Linjamsos) Dinas Sosial Kabupaten Parigi Moutong, Safaat Pampi, mengungkapkan kondisi memprihatinkan yang dialami para relawan Taruna Siaga Bencana (Tagana) di daerahnya. Meski dikenal sebagai Tagana terbaik di Provinsi Sulawesi Tengah dan bahkan meraih penghargaan di tingkat nasional, para relawan ini justru tidak mendapat dukungan anggaran dari pemerintah daerah.
“Di kegiatan penanganan bencana alam dan sosial untuk tahun 2024, anggarannya nol atau tidak ada,” ujar Safaat saat rapat Pansus Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) bersama DPRD Parigi Moutong, Kamis (3/7/2025).
Ia menjelaskan, Bidang Linjamsos saat ini memiliki tiga program utama, yaitu penanganan stunting, bencana alam, dan bencana sosial. Namun, hanya program penanganan stunting yang memperoleh alokasi dana sebesar Rp300 juta lebih yang merupakan program rutin tahunan.
Akibatnya, untuk penanganan bencana, pihaknya sepenuhnya bergantung pada bantuan logistik atau buffer stock dari Kementerian Sosial Republik Indonesia.
“Meski tanpa anggaran daerah, kami masih bisa menangani karena adanya dukungan dari Kemensos,” tambahnya.
Safaat menyebutkan bahwa keberhasilan penanganan bencana selama ini bertumpu pada dua elemen penting: relawan Tagana dan para pendamping Program Keluarga Harapan (PKH). Namun, perlakuan terhadap keduanya jauh berbeda.
“Pendamping PKH digaji Kemensos sesuai UMR. Sementara Tagana hanya menerima tali asih sebesar Rp250 ribu per bulan dari Kemensos, dan tidak ada dukungan dari daerah,” ungkapnya.
Ironisnya, Tagana Parigi Moutong pernah menerima penghargaan nasional atas kontribusinya dalam penanganan bencana erupsi Gunung Ruang di Pulau Tagulandang, Sulawesi Utara. Di tingkat lokal, mereka juga aktif dalam setiap bencana di wilayah Parigi Moutong, mulai dari Kecamatan Sausu hingga Moutong.
“Namun karena tidak ada anggaran bencana, Tagana tidak mendapat alokasi dari Pemda Parigi Moutong tahun 2024 dan 2025,” keluhnya.
Safaat berharap DPRD dapat mendorong pemerintah daerah untuk menyediakan anggaran khusus bagi Tagana, minimal untuk fasilitas, atribut, dan insentif lokal.
“Kasihan mereka, Pak. Ini relawan yang rela mengabdi. Selama masa tanggap darurat 14 hari, mereka tinggalkan keluarganya tanpa jaminan yang layak,” tuturnya.
Sebagai pengganti biaya transportasi, relawan Tagana hanya menerima dana akomodasi dari Belanja Tak Terduga (BTT) sebesar Rp100 ribu per hari.
“Itu jelas tidak sebanding dengan pekerjaan berat mereka di lokasi bencana,” pungkasnya dengan nada kecewa.