
Parigi Moutong, Timursulawesi.id Operasi Pertambangan Emas Tanpa Izin atau PETI di Desa Kayuboko, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, semakin mengkhawatirkan. Lebih dari 30 unit excavator diduga beroperasi tanpa izin resmi, dengan keterlibatan pengusaha lokal yang juga politisi, serta indikasi kolusi dengan sejumlah oknum aparat.
Kondisi ini jelas bertentangan dengan aturan mengenai Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Berdasarkan rekomendasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kegiatan pertambangan rakyat hanya diperbolehkan menggunakan satu unit excavator dan satu unit sluice box (talang).
“Baru-baru ini masuk 16 unit excavator ke lokasi tambang. Puluhan alat berat tersebut diduga kuat milik salah satu cukong dengan inisial ERA,” ungkap seorang warga Desa Kayuboko, Minggu (1/6/2025).
Seorang pengusaha atau cokong yang berinisial ERA juga dikenal sebagai politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Berdasarkan pantauan, sejak Februari 2025, ERA telah melakukan eksploitasi secara ilegal di kawasan tersebut. Ia mulai dengan 5 unit alat berat dan mendukung proses penerbitan IPR oleh Pemerintah Desa Kayuboko.
Dengan tambahan 16 unit excavator, total alat berat yang diduga dioperasikan ERA kini mencapai 21 unit. Meski aktivitas ini belum berizin resmi, penggalian terus berlangsung secara terbuka.
ERA dan sejumlah pelaku lainnya diduga mendapat perlindungan dari oknum aparat. Isu soal jatah dan setoran mencuat di tengah operasi alat berat, diduga menyasar berbagai pihak, selain itu, aktivitas distribusi bahan bakar minyak (BBM) jenis solar secara ilegal juga mengiringi operasi PETI tersebut.
Aktivitas di lokasi juga menyimpang dari titik-titik yang diatur dalam IPR. Pergerakan alat berat terpantau sporadis dan tidak sesuai dengan regulasi yang ada.
Sebagai catatan, dalam draf Revisi Undang-Undang Minerba No. 4 Tahun 2009 (RUU Minerba), IPR hanya diberikan kepada penduduk setempat, baik dalam bentuk kelompok masyarakat maupun koperasi. Kegiatan tambang rakyat juga dibatasi dalam hal skala dan teknologi yang digunakan.
Pasal 67 RUU Minerba menyebutkan bahwa penggunaan peralatan harus sederhana dan sesuai dengan kedalaman jenis komoditas. Sementara Pasal 68 membatasi luas wilayah IPR untuk kelompok masyarakat maksimal 5 hektare, dan 10 hektare untuk koperasi. Izin ini diberikan untuk jangka waktu maksimal 10 tahun, dapat diperpanjang dua kali masing-masing 5 tahun.
Jika Desa Kayuboko nantinya resmi menyandang status tambang rakyat dengan IPR, pelaksanaan tetap harus sesuai dengan kaidah pertambangan yang baik dan berkelanjutan. Kegiatan harus transparan dan tercatat agar pemerintah tidak hanya mengandalkan data produksi dan cadangan yang bersifat asumtif.
Pengawasan dari pihak pemberi izin menjadi krusial agar tidak dimanfaatkan oleh cukong berkedok tambang rakyat.
ERA sendiri adalah sosok yang cukup dikenal di Sulteng. Selain pernah menjadi kontraktor proyek jalan, ia juga sempat maju sebagai calon anggota DPRD Sulteng dari Dapil Sulteng 1 (Kota Palu) pada Pileg 2024, meski tidak terpilih. Ia menjabat sebagai Ketua DPD Banteng Muda Indonesia (BMI) Sulteng dan Ketua Kompartemen Perdagangan Luar Negeri HIPMI Sulteng, serta Ketua PW SAPMA Pemuda Pancasila Sulteng.
Kasus tambang ilegal di Kayuboko ini menjadi cermin rapuhnya pengawasan di sektor pertambangan rakyat, yang rawan disusupi kepentingan bisnis dan politik.